Next

Selasa, 31 Agustus 2010

FORMULA KEBAHAGIAAN

Dirimu,
sama seperti semua orang di seluruh alam raya,
berhak atas cinta dan kasih sayangmu. (Buddha)


Membaca pemikiran Deepak Chopra - penulis lebih dari 50 buku yang telah diterjemahkan ke lebih dari 35 bahasa - tentang kebahagiaan. Menurutnya, beberapa peneliti terkemuka di bidang psikologi positif - antara lain Sonja Lyubomirsku, Ed Diener, dan Martin Seligman - telah menemukan formula kebahagiaan. Inilah formula tersebut:

H = S + C + V

Menurut para peneliti itu, ada tiga faktor spesifik yang menentukan kebahagiaan (H, happiness): Pertama, S (set point); kedua, C (conditions of living.); dan ketiga, V (voluntary activities). Kebahagiaan adalah jumlah dari ketiga faktor spesifik tersebut.

S
atau titik awal terkait dengan otak. "Orang yang tidak bahagia memiliki mekanisme otak yang cenderung menafsirkan berbagai situasi sebagai masalah. Sebaliknya, orang yang bahagia memiliki mekanisme otak yang menafsirkan situasi yang sama sebagai peluang." Yang mengejutkan, titik awal ini sebagian bersifat genetis (keturunan).

C
atau kondisi kehidupan terkait dengan peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang. Bagaimana kemampuan seseorang beradaptasi dengan keadaan lingkungan dan peristiwa yang dialaminya sangat menentukan tingkat kebahagiaannya. "Hal buruk bisa terjadi kepada siapa pun, namun
kemampuan beradaptasilah yang menentukan apakah hal buruk itu dapat membawa ke arah kebahagiaan atau penderitaan." Yang menarik, di ranah ini ada istilah "eustress" - stres yang diakibatkan oleh pengalaman yang menyenangkan (mendapat lotere, misalnya).

V
atau kegiatan sukarela - biasanya bersifat sosial. "Hampir 50% formula kebahagiaan ini bergantung pada faktor ketiga atau V ini. Ini merupakan kegiatan yang kita pilih untuk kita lakukan setiap hari. Jika kita
memilih kegiatan yang dapat membahagiakan orang lain, itu berarti kita telah memilih jalur cepat menuju kebahagiaan sejati."

Apakah ketika kita kita berburu Lailatul-Qadar, kita juga sedang berburu kebahagiaan? Atau, sejatinya yang sedang kita buru itu sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kebahagiaan?

Senin, 23 Agustus 2010

FILOSOFI CELENGAN


Sederhana Itu Menenangkan !

Teringat saat saya masih kecil, dibelikan celengen ayam jago dari tanah liat. Orang tua ingin agar saya belajar menabung. Lain dengan anak zaman sekarang, mereka sudah diajarkan bagaimana harus berhutang dengan memberikan kartu kredit.

Kata 'sederhana' pada masa kini tampaknya sudah hilang dari kamus kehidupan kita. Kita diajarkan bahkan dipaksakan agar mau menjalankan hidup dengan cara jor-joran(bukan joran / pancing lho).
Di media elektronik, cetak selalu disajikan bagaimana caranya agar kita bisa melakukan pola hidup yang serba wah. Hidup mewah identik dengan modern, keren, gaya, ikut tren. Kita merasa tidak keren jika belum memiliki TV Plasma. Mobil hanya satu? Apa kata dunia?
Hukumnya wajib; walaupun dengan berhutang, dengan kredit adalah memiliki beberapa ponsel termasuk Blackberry yang hanya dimanfaatkan untuk aktivitas remeh temeh. Tas, sepatu maupun pakaian harus yang bermerek minimal keluaran butik; tidak pasaran. Sekolah anakpun harus yang modern; di TK yang mengajarkan bermacam bahasa asing.

Kita enggan menghidupkan masjid kecil yang berada di sekitar lingkungan kita. Kita merasa menjadi orang yang keren tatkala mendatangi majelis, masjid di lingkungan orang-orang sukses, orang-orang ngetop. Kita mengusahakan pergi ke masjid, dimana di sana banyak pejabat, pengusaha atau selebritis yang tampil blink-blink beribadah.

Hidup sederhana bukanlah hidup miskin, tetapi hidup dengan cara yang tidak berlebihan. Melalui pola hidup sederhana kita tidak akan tergoda untuk melakukan KKN.

Dengan mempraktekan pola hidup sederhana kita akan lebih bisa berempati - merasakan
penderitaan sesama kita. Dengan hidup sederhana, kelebihan rizki dapat disedekahkan untuk kemaslahatan umat.
Harta yang berlebih dapat lebih banyak dimanfaatkan perekonomian kaum duafa, misalnya. Mumpung bulannya bagus. Sebaiknya banyak-banyaklah berbagi.

Orang yang hidup sederhana tidak akan stress, sebab mereka tidak akan takut dicurigai, tidak takut kehilangan, tidak dikejar-kejar debt collector, tidak takut dicuri. Hidupnya jauh lebih sehat. Sederhana dalam membelanjakan harta adalah bagian dari iman.

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak berlebihan dan tidak kikir........" [QS Al Furqaan; 25:67]
Kiranya kehidupan seorang muslim tidaklah mubazir dan tidak bakhil.

Waspadai Insiden Bintan Berakhir Seperti Sipadan Ligitan



Jakarta (ANTARA) - Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana meminta Pemerintah mewaspadai insiden pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan Bintan, Kepulauan Riau, berakhir seperti kasus Sipadan dan Ligitan.

"Perlu kita cermati secara mendalam, insiden perairan Bintan jangan sampai menjadi strategi untuk mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya," kata Suhana di Jakarta, Kamis.
Seperti diketahui hingga saat ini perundingan perbatasan Indonesia dengan Malaysia di perairan Bintan tempat terjadinya insiden masih mengalami kebuntuan, ujar Suhana. Untuk itu Pemerintah perlu tegas terhadap sikap Malaysia atas insiden tersebut.

Menurut dia, Pemerintah Malaysia sebelumnya juga pernah mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai wilayah kedaulatannya dengan mengeluarkan peta, namun Pemerintah Indonesia sudah melayangkan penolakan atas peta tersebut.

Namun demikian upaya Malaysia untuk mengklaim perairan tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu, mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa perairan tersebut masuk kedalam kedaulatan mereka, lanjutnya.

"Karena itu jangan sampai kelengahan pengawas perikanan Indonesia dimanfaatkan. Kita tahu bahwa jumlah hari operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan tahun 2010 ini mengalami penurunan dari 180 hari menjadi 100 hari, akibatnya pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia menjadi lengah," tegas Suhana.

Sehingga tidak heran kalau aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia saat ini cenderung meningkat, katanya.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukan bahwa sampai akhir Juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 diantaranya merupakan kapal ikan asing, termasuk kapal Malaysia.

Berkurangnya hari operasi kapal pengawas tersebut, ia berpendapat sebagai dampak dari kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merealokasi anggaran di (KKP) Tahun 2010.
"Kami menduga ada kesengajaan lima kapal nelayan Malaysia melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Bintan. Karena bila tidak ada tindakan protes dari aparat Indonesia, mereka dapat mengklaim perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya," lanjut Suhana.

Ia mengatakan jika melihat kembali dokumen beralihnya Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana perundingan Indonesia dan Malaysia saat itu mengalami kebuntuan dan akhirnya disepakati status quo.

Namun dalam kondisi status tersebut Pemerintah Malaysia telah memanfaatkan kelengahan Pemerintah Indonesia atas pengawasan terhadap kedua pulau tersebut dengan cara memberikan izin untuk membuat berbagai sarana wisata.
"Upaya tersebut berhasil dilakukan karena tidak ada protes dari Pemerintah Indonesia," tegasnya.

Dalam Sidang Mahkamah Internasional Tahun 2002, sempat memutuskan bahwa tidak satu pun dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang berhak atas Pulau Ligitan dan Sipadan berdasarkan traktat.
Namun pertimbangan Mahkamah selanjutnya berpihak pada yang memiliki hak kepemilikan (title) atas pulau-pulau sengketa berdasarkan penguasaan efektif (effectivites) yang diajukan oleh mereka.

Dalam kaitan ini, Suhana menjelaskan Mahkamah menentukan apakah klaim kedaulatan para pihak berdasarkan kegiatan-kegiatan yang membuktikan adanya suatu tindakan nyata, pelaksanaan kewenangan secara terus menerus terhadap kedua pulau, antara lain misalnya (adanya) itikad dan keinginan untuk bertindak sebagai perwujudan kedaulatan.

Berdasarkan effectivites tersebut maka pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakui penguasaan efektif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Malaysia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, dan selama penguasaan efektif tersebut tidak ada gugatan atau protes dari pemerintah Indonesia.
"Karena itu kami mendesak Pemerintah untuk tegas dalam perundingan terkait perbatasan, segera meningkatkan pengawasan di perbatasan, dan menekan negara lain yang tidak segera menyelesaikan perundingan perbatasan dengan meninjau kembali kerja sama yang telah dilakukan dua negara," ujar Suhana.

Minggu, 22 Agustus 2010

RELATIVITAS WAKTU



Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.

Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh Al-Quran (seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat At-Taubah ayat 36), Al-Quran juga memperkenalkan adanya relativitas waktu, baik yang berkaitan
dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.

Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:
"Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari ..."

Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih, menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau kurang, Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19).

Ini karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah, sehingga walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.

Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam Al-Quran ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah Swt. berfirman:
"Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ... "(QS Al-Nahl [16]: 1).

Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi di sisi lain jika memang telah datang seperti bunyi ayat, mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan itu insya Allah akan sirna, jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang akan datang sama saja. Dari sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.

Ketika Al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat menuju hadirat-Nya, salah satu ayat Al-Quran menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia). Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (QS Al-Ma'arij [70]: 4). Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia:
"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu"(QS Al-Sajdah [32]: 5).
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya. Sesuatu itu adalah Allah Swt.
"Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti kejapan mata" (QS Al-Qamar [54] 50).
"Kejapan mata" dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam pengertian dimensi manusia, karena Allah berada di luar dimensi tersebut, dan karena Dia juga telah menegaskan bahwa:
"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka terjadilah ia " (QS Ya Sin [36]: 82)

Ini pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas hanya ingin menyebutkan bahwa Allah Swt. berada di luar dimensi ruang dan waktu.
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara mutlak seperti pemahaman populer dewasa ini. "Allah menciptakan alam raya selama enam hari", tidak harus dipahami sebagai enam kali dua puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata "tahun" dalam Al-Quran tidak berarti 365 hari - walaupun kata yaum dalam Al-Quran yang berarti hari hanya terulang 365 kali - karena umat manusia berbeda dalam menetapkan jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat manusia mengenal pula perhitungan yang lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi Nuh a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29:14), tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsiah atau Qamariah. Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim (panas, dingin, gugur, dan semi) sehingga setahun perhitungan kita yang menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230 tahun.

Al-Quran mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan Qamariah melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (Ashhabul-Kahfi) tertidur.
"Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun" (QS.Al-Kahf [18]: 25).

Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan Qamariah. Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun antara perhitungan Qamariah dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan tahun.