Next

Senin, 08 Maret 2010

A fish blog.com

A fish blog.com

AIR PEDESAAN




Air Pembasuh Wajah Suram


TERPENCIL dan tertinggal. Begitulah gambaran Dusun Ciwareng, Majasari, Kecamatan Cibiuk, Garut, Jawa Barat, selama bertahun-tahun. Jangankan makanan enak dan barang mewah, untuk mandi sekali sehari pun warga Ciwareng harus berjuang keras. Pilihannya, turun ke kali kecil melalui lereng sejauh 200 meter, atau naik ke mata air di kaki bukit dengan berjalan kaki 2 kilometer. Dua keran bambu yang mengucurkan air dari bak di sisi masjid tak mencukupi.

Ciwareng terletak di kaki Gunung Haruman, pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Dusun ini dihuni sekitar 460 jiwa, dari 80 kepala keluarga. Dari jalan aspal kecamatan, dusun ini berjarak 4 kilometer, melalui jalan tanah. Ciwareng dikenal sulit air. Sumur harus digali sedikitnya 25 meter. Itu pun hanya berisi air beberapa bulan dalam setahun.

Warga Ciwareng pun terbiasa dengan cara hidup hemat air. Hampir tak ada warga yang punya kakus. Untuk buang hajat, mereka lari ke sungai yang mengalir malas di pinggir desa. ''Kalau tak sempat, ya, buang air di kebun,'' kata Tato, tokoh masyarakat setempat.

Sanitasi pun menjadi urusan yang nyaris terabaikan. Kondisi kesehatan warga pada umumnya buruk. Kondisi ini pula yang mengundang para aktivis Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat (Pesat) terjun sejak beberapa tahun lalu. Pesat membantu warga menarik air dari lereng gunung, dengan pipa sepanjang 2 kilometer, kemudian ditampung dalam bak besar dekat masjid dusun. Dari dalam bak air mengucur lewat dua pancuran bambu.

Warga Ciwareng selama ini seperti tidak berdaya. Menurut survei Pesat, bekerja sama dengan Bank Dunia, hanya 20% warga Ciwareng yang termasuk ''mampu''. Umumnya bekerja sebagai tenaga kasar di kota, terutama Jakarta. Selebihnya, 48% termasuk kategori miskin dan 32% lagi sangat miskin.

Kelompok miskin dan sangat miskin itu umumnya petani, atau bahkan buruh tani. Komoditas andalan mereka hanya padi gogo dan jagung. Kepemilikan lahan pertanian di sana juga sempit. Rata-rata tak sampai 2.000 m2.
Tapi, kini cerita suram itu sebagian sirna. Muhajar, warga dusun sepi itu, mengaku tidak perlu lagi antre air di bak dekat masjid. Tinggal putar keran, dan curr... air jernih mengalir di rumahnya. Itu tak lain karena sudah ada instalasi air bersih hasil swadaya warga Ciwareng sendiri.

Proyek pembangunannya dirintis pada 1999. Saat itu, warga Ciwareng membentuk Kelompok Tani Penghijauan Assalam. Bersama Pesat, mereka mulai membangun instalasi pengolah air. Modalnya cuma Rp 17,5 juta, pinjaman dari Pesat. Dengan dana itu, mereka membangun tiga tangki air, juga menanam pipa pralon sepanjang 2 kilometer. Debit air ke desa makin besar.

''Satu tangki untuk pembagi air,'' kata Tato, pengurus instalasi air itu. Dua tangki lain berdiameter 1,5 meter dengan tinggi 2 meter. Fungsinya, menyalurkan air ke rumah-rumah penduduk. ''Debitnya lumayan, 0,26 liter per detik,'' Tato menambahkan. Hanya cukup untuk minum dan masak.

Dana yang diberikan tidak gratis. ''Kami harus mencicilnya,'' kata Muhajar, warga Ciwareng yang juga bertugas sebagai ketua panitia pembangunan air bersih. Tiap rumah wajib mengangsur Rp 10.000 per bulan, selama tiga tahun. ''Pembayarannya lancar,'' kata Lina, dari Yayasan Pesat.

Kelak, kata Tato, jika sudah lunas, instalasi air akan dikelola koperasi desa di bawah naungan Assalam. Warga akan tetap dikenai iuran. ''Bukan untuk beli air, melainkan untuk biaya operasional dan pemeliharaan,'' kata Tato, yang juga menjadi pengawas Koperasi Assalam. Ia pun berharap bisa menambah debit air.

Harapan Tato tak sekadar angan-angan. Pengalaman Desa Cibodas berburu air bersih bisa menjadi bukti. Penduduk desa yang terletak di Kecamatan Lembang, sekitar 25 kilometer dari Bandung, Jawa Barat, ini awalnya sangat kesulitan air bersih. ''Sumur galian sangat dalam, dan kalau kemarau sering kering,'' tutur Hanes Lise, Kepala Desa Cibodas.

Perburuan air bersih dimulai pada 1978. Hasilnya tak memuaskan. Dengan bantuan CARE International dan Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Barat, akhirnya pada 1987 mereka pun bisa menggarap sumber di lereng Bukittunggul, 6 kilometer dari desa. ''Debit airnya mencapai 11 liter per detik,'' kata Hanes.
Dana yang diperlukan Rp 132 juta. Pemda Jawa Barat dan CARE ketika itu hanya menyumbang Rp 32 juta. Sisanya, ya, swadaya masyarakat. Mobilisasi dana dilakukan. Warga Cibodas lebih beruntung. Mereka jauh lebih mampu dibandingkan dengan warga Dusun Ciwareng. Pelan-pelan, instalasi air dibangun. Akhirnya, setelah dua tahun, instalasi pun selesai.

Sejak itu, Cibodas bisa menikmati air bersih. Pengoperasiannya kini ditangani Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (BPABS). BPABS memiliki karyawan sembilan orang. Mereka bertugas mengawasi keluar-masuk uang retribusi sampai mendeteksi distribusi air. Sejak itulah, Desa Cibodas bak punya perusahaan air minum sendiri.

Para pelanggan pun diberi meteran air. Harga progresif diterapkan. Batas terendah sampai pemakaian 10 m3 per bulan dikenai iuran Rp 2.500. Pada konsumsi 10-20 m3, kelebihan tiap meter kubiknya dikenai biaya Rp 300. Pada pemakaian 25 m3 ke atas, kelebihannya dihargai Rp 750 tiap meter kubik.

Begitu selanjutnya. ''Agar lebih adil. Yang memakai lebih banyak harus membayar besar,'' kata Otoy Patrianagara, Ketua BPABS. Biaya pipa Rp 600.000 per rumah tangga. Kini, BPABS punya 1.645 pelanggan. Kinerja BPABS boleh diandalkan. Laporan keuangannya rapi. Pemasukan kotor tahun lalu Rp 118 juta. Dari uang retribusi sejak 1990, BPABS sanggup membeli lahan untuk SMP Cibodas senilai Rp 160 juta.

Kini, Cibodas berlimpah air. Pendapatan warga meningkat. ''Ya, memang tak banyak, tetapi itu berarti bagi kami,'' kata Hanes. Dalam perkiraan Hanes, penghasilan warga rata-rata meningkat Rp 4.500 per hari dalam lima tahun belakangan. ''Kini, hampir Rp 12.000 sehari per tenaga kerja,'' katanya.

Beberapa usaha baru memang terbuka setelah air mengalir. Hanes memberi contoh berkembangnya budi daya buah strawberi, juga sapi perah. ''Bidang sayur-sayuran juga berkembang karena pasokan air sekarang cukup,'' kata Hanes. Karena itulah, para pengurus BPABS ingin lebih mengembangkan bisnis airnya. Sumber air lainnya sedang dicari. ''Jika cocok, bisa kami olah, lalu ditawarkan ke desa tetangga,'' kata Otoy sembari tersenyum.

Berbisnis air boleh-boleh saja. Tapi, tentu tak semua desa beruntung seperti Cibodas. Menurut peneliti infrastruktur, Salusra Widya, dari Direktorat Permukiman dan Perumahan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tidak semua daerah bisa menerapkan cara seperti di Cibodas.

Kedua daerah itu, kata Salus, beruntung karena mempunyai potensi sumber mata air. ''Teknologinya sederhana dan murah karena air dialirkan begitu saja,'' kata Salus. Di berbagai daerah, banyak yang tak memiliki mata air sama sekali. Kalapun ada, cenderung keruh. ''Ada juga yang harus disedot dengan pompa,'' tutur Salus. Itu belum termasuk biaya pengolahan airnya. ''Tentu butuh biaya lebih besar,'' katanya. Modal lainnya, tentu semangat warga yang menggebu seperti di Cobodas.

UNTUNG ADA ASURANSI



Refleksi dari Rentetan Bencana Alam di Indonesia


Tidak semua orang yang kena musibah hidupnya lantas berakhir. Sebab, sebab bagi yang berasuransi, dia akan mendapatkan polis asuransi atas kerugian yang ditanggung. Rangkaian musibah yang terjadi seharusnya membangkitkan kesadaran kita akan pentingnya asuransi.

Bencana alam semakin raji mengunjungi negeri ini. Simak saja kalender 2009 yang dipenuhi musibah akibat bencana alam. Awal tahun, banjir tak terbendung. Pada Januari-Pebruari guyuran hujan dan luapan Sungai Bengawan Solo mrendam lebih dari 20.000 rumah dan ratusan hektar sawah serta merenggut beberapa korban jiwa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bulan Berikutnya, Maret 2009, jebolnya tanggul Situ Gintung di Tangerang menjadi tragedi yang memilukan karena menewaskan lebih 100 jiwa. Belum lagi kerugia berupa harta benda, berupa rumah dan kendaraan bermotor. Kemudian, pada awal September lalu, gempa bumi berkekuatan 7,3 skala richter (SR) mengguncang Tasikmalaya dan Garut. Selain menghilangkan nyawa sebanyak 53 orang, gempa tersebut juga mnghancurkan 97 rumah serta merusak 32.293 rumah dan 671 fasilitas umum.

Pada penghujung bulan yang sama, Padang di Sumatra Barat (Sumbar) diguncang gempa berkekuatan 7,6 SR. Dalamsekejab, gempa dahsyat itu mengubah Padang menjadi kota mati yang dipenuhi dengan puing-puing kehancuran. Tercatat lebih dari 1.115 orang korban meninggal, 1.214 orang luka berat, 1.688 orang luka ringan dan 1 orang dinyatakan hilang.

Secara materiil, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga mencatat, ribuan rumah penduduk hancur termasuk gedung sekolah dan rumah peribadatan. Belasanhotel mewah ikut runtuh. Bahkan HotelAmbacang yang ambruk mengubur ratusan tamunya. Kerugian materiil akibat gempa di Sumbar diperkirakan lebih Rp.10 trilyun. Nasib pemilik polis tentu lebih baik.Setidaknya mereka mendapat uang pertanggungan, kendati harta bendanya hancur ataupun anggota keluarganya meninggal. Sedangkan orang-orang yang tidak memiliki asuransi terpaksa bergantung pada uluran tangan para dermawan.

Serangkaian musibah ini hendaknya dapat memupuk kesadaran kita akan pentingnya skema proteksi asuransi di Indonesia yang memang rawan bencana alam. Apalagi risiko tidak hanya brasal dari bencana, tapi juga ditemukan pada aktivitas sehari-hari seiring dengan kian kompleksnya kehidupan di era modern ini.Risiko penyakit dankecelakaan makin menganga mengikuti mobilitas manusia yang makin kencang, teutama di perkotaan.

Nyatanya jumlah pemegang polis asuransi di Indonesia masih rendah atau baru sekitar 10% dari jumlah penduduk yang 230 juta jiwa. Bahkan jika menghitug pemegang polis berdasarkan orang yang berasuransi atas kehendaknya sendiri (individu), jumlahnya lebih kecil lagi. Artinya hanya sebagian kecil masyarakat yang bicara ”untung ada asuransi” ketika musibah datang. Sementara itu, sebagian besar menghadapi musibah keuangan. Semoga rentetan musibah di negeri ini ikut membangunkan kesadaran untuk berasuransi.