Next

Rabu, 13 Oktober 2010

MERAPI & MITOS YG MENYERTAI

ANALISIS SUKSESI DIKAITKAN DENGAN GEJOLAK GUNUNG MERAPI.

Detik.News : Dalam Babad Tanah Jawi, juga Serat Kanda disebut, jika gunung Merapi mulai batuk-batuk dan disusul dengan meletusnya gunung-gunung yang lain, maka itu pertanda terjadi suksesi di tanah Jawa. Pakem berdasar mitos itu diyakini sampai kini.

Boleh percaya boleh tidak, tapi saban terjadi pergantian presiden di negeri ini ternyata selalu diawali dengan meletusnya gunung Merapi. Itu terjadi sejak lengsernya Bung Karno dengan tampilnya Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, sampai SBY.

Gunung Merapi juga amat disakralkan banyak orang. Popularitas Mbah Maridjan 'mengalahkan' pamor Sultan Hamengkubuwono X (HB X) juga gara-gara gunung ini. Ketika kawah Merapi menggelegak dan pengungsi mulai berhamburan, Raja Jawa itu meminta Mbah Maridjan, juru kunci gunung ini meninggalkan wewengkonnya (daerahnya).

Mbah Maridjan kukuh tidak mau mengungsi. Dia tetap dalam rumahnya yang berada persis di gigir gunung. Lelehan lava tak membuat lelaki khusyuk ini kabur. Malah beberapa pendaki yang bersembunyi di bunker buatan pemerintah setempat yang ditentang Mbah Maridjan bernasib sial. Saat lava mengalir, mereka mati gosong di dalamnya.

Itu pangkal larisnya 'roso'. Itu muasal berdirinya masjid di depan rumahnya. Kendati
maksud HB X menyuruh Mbah Maridjan turun gunung sangat manusiawi, tapi rakyat menangkapnya beda. Mereka berasumsi Mbah Maridjan lebih sidik paningale. Dia menyatu dengan Kiai Sapujagat, tokoh mistik yang dipercaya sebagai mbaurekso (penguasa) gunung ini. Dan dia tahu yang bakal terjadi.

Di Jangka Sabdo Palon Noyo Genggong Gunung Merapi kembali dijadikan sebagai pengingat. Kehancuran Pulau Jawa akan ditandai dengan letusan gunung ini, disusul gempa bumi dan laut yang menggelegak. "Pratanda tembayan mami, hardi merapi yen wus njebluk milir lahar."

Malah dalam serat ini terurai cukup rinci. Aliran lahar akan mengarah ke barat daya. Membakar tanaman dan membunuh manusia, hingga aroma anyir mayat bertebaran di mana-mana. Itu sebelum daerah lain di tanah Jawa lantak, ikut hancur lebur berkeping-keping. Terus bagaimana kabar gunung Merapi hari-hari ini?

Sudah sebulan ini Gunung Merapi batuk-batuk. Seperti yang diberitakan detik.com, statusnya dari hari ke hari terus meningkat hingga waspada. Bagi orang Jawa, ini tengarai, bahwa tatanan negeri ini mulai tidak bajek (kokoh) lagi. Situasi chaostis mungkin terjadi. Kamtibmas terganggu. Dan bisa lebih dari itu. Adakah juga sinyal akan terjadinya suksesi?

Rasanya kok belum sampai ke sana. Berdasar ilmu titen, kegoncangan itu meminta tumbal pergantian pucuk pimpinan kalau sudah meletus dan diikuti letusan gunung- gunung lain yang dalam 'peta mistik' tidak disakralkan. Kali ini Merapi baru 'berdehem'. Gunung ini baru riuh di dalam perutnya, belum sampai muntah.

Kalaulah ada gunung lain yang bergejolak, justru itu adalah Gunung Semeru. Gunung ini dalam keyakinan Jawa dianggap sebagai 'gunung tua', identifikasi dari Mahameru. Gunung manjingnya (tinggal) Semar, sosok lelaki tua, sakti, sederhana, dan arif dalam pewayangan Jawa. Adakah dengan begitu Presiden sekarang berakhir sampai tahun 2014 nanti?

Dari tanda-tanda itu, naga-naganya memang begitu.

4-11-2010
Gunung Merapi masih terus memuntahkan isi perutnya. Prahara itu mengobrak-abrik Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Di tengah itu tampil Mbah Ponimin bilang ketemu Sultan Agung, muncul awan Petruk, dan Dr Surono ahli gunung mendapat 'gelar' baru Mbah Rono. Inilah politik para demit yang tidak enak dinalar tapi asyik didengar.

Mumpung gunung mistis itu masih bergolak, rasanya menarik untuk memasuki batin orang Jawa. Insan berperadaban lama, pengamal euphemisme, dan pemberi makna tiap kejadian dan benda. Pengayaan itu membuat banyak orang tidak paham. Padahal jika ranah ini dibawa ke Islam, maka mirip garis besar 'Ihya Ulumuddin' gagasan Al Ghazali. Syariat itu wadag. Ma'rifat itu jiwa.

Manusia Jawa itu hakekatnya adalah spiritualis sejati. Dia tidak hanya bicara kebaikan, tetapi sekaligus pelaku kebaikan. Syariat dijalani dengan kata dan sikap. Ma'rifatnya diendapkan sekaligus dilakukan. Itu latar idiom ing ngarso sung tulodho, ing madyo bangun karso, tut wuri handayani. Di depan memberi contoh. Di tengah menyemangati. Di belakang mendorong menuju kebaikan.

Almarhum Kuntowijoyo menyebut manusia Jawa itu introvert. Itu karena kebaikan dalam budaya Jawa disimbolisasikan padi. Padi yang berisi itu menunduk. Padi yang tegak itu gabuk. Tidak ada isinya. Ini sebagai metafora, bahwa orang yang berilmu, orang cerdas, orang yang memimpin dan sadar sebagai pemimpin itu adalah yang tidak pongah. Dalam darahnya lebih banyak dialiri unsur malaikat ketimbang setan.

Manusia yang punya budi pekerti luhur itu dituakan. Dia dijadikan tempat mengadu. Diposisikan sebagai embat-embate pitutur (pertimbangan) dalam segala persoalan. Dan orang yang sudah sama dalam kata dan tindakan itu dipanggil mbah, eyang, dan romo. Adakah Mbah Rono dan Mbah Ponimin memang sudah pada tahapan itu?

Ini penghargaan bernilai spiritual yang bersifat metafisis. Orang yang dituakan itu adalah orang yang mengamalkan filosofi budi. Dia tidak kebendaan. Apalagi pamrih jabatan. Jangan kaget jika berpuluh-puluh tahun lalu orang kaya di desa selalu dicurigai. Dituding mengkaryakan Tuyul atau Nyai Blorong, makhluk antah-berantah yang dipercaya mampu membuat kaya.

Sifat mengutamakan keluhuran itu sekarang memang semakin langka. Banyak yang bilang manusia Jawa kini sudah hilang 'Jawanya'. Hilang etikanya. Hilang budi pekertinya. Hilang sifat spiritualitasnya, karena sudah menjadi pengamal filosofi materi. Jujur tapi miskin itu hina. Punya jabatan tinggi tidak korupsi itu naif. So, orang Jawa yang baik sekarang adalah perampok dan maling. Maling rakyat dan maling negara.

Budaya profan itu memang tuntutan. Tuntutan dari hedonisasi yang merambah seluruh sendi. Orang Jawa tak lagi menyisakan waktu nglalar lan nglulur (instrospeksi). Dan yang Islam menempatkan salat sekadar kewajiban. Wajib manembah mring Gusti Allah, tak peduli hanya dijalankan seperti check-lock absensi atau malah hanya tabik sambil berlari.

Profanisme itu yang merusak segalanya. Orang kaya hasil maling dipuja. Sogok dan suap demi lancarnya urusan dihalalkan. Cagar budaya, cagar alam, cagar-cagar yang lain dirusak untuk diduitkan. Dan ketika alam marah, maka reaksi logis adalah saling menyalahkan. Itu karena watak spiritualitasnya sudah hilang. Manusia tinggal punya mulut untuk berteriak dan punya akal untuk ngakali.

Manusia Jawa memang sinkretis. Tapi sinkretisme itu bukanlah penggabungan seluruh agama untuk dijadikan satu ugeman. Sinkretisme disini adalah suatu penghargaan terhadap kepercayaan orang lain yang berbeda. Asas harmonisasi tetap menjadi soko guru, karena perbedaan adalah radiks harmoni. Dengan begitu, maka pengakuan Mbah Ponimin bertemu Sultan Agung memang bukan berlatar 'Islami'. Ini sama dengan penipuan mata melihat awan Petruk.

Wadagisme itu adalah politik para demit agar semuanya bubar. Jika manusia Jawa masih memegang roh spiritualitas nenek moyangnya, tentu tidak melihat setan sebagai lawan yang harus dilawan. Memang benar makhluk itu dicipta untuk menggoda. Menggoda kita agar jauh dari-Nya dan salah langkah. Tapi secara spiritual, kita harus berterimakasih pada Allah karena didampingi setan agar makin beriman dan kian dekat dengan-Nya.
Baca 'Sajaratul Kaun' yang mengkisahkan setan bertamu pada Nabi Muhammad SAW saat junjungan kita itu dikelilingi para sahabat. Umar Bin Khattab yang marah dan hendak membunuhnya dicegah oleh Nabi. Panutan yang dikenal jujur itu menyuruh menanyai yang baik dan buruk baginya agar manusia menjauhi yang diinginkan setan dan menjalankan yang tidak disukai setan.

Dan di tengah keprihatinan saudara-saudara kita yang terkena musibah, coba sedikit kita renungkan kata-kata James Own dalam 'The Satanic Tragedy'. 'Setan itu kasihan. Tobat pun masih akan masuk neraka. Tapi kalau kita mengasihani setan, itu sama artinya kita telah digoda setan.' Subhanallah!

Politik setan memang halus dan menjebak. Adakah kita mengamalkan itu dengan saling menghujat perbedaan dan saling menyalahkan tragedi yang terjadi?

Tidak ada komentar: